Saya sedang berdiri di
tengah sesaknya gerbong KRL Ekonomi Jakarta-Bogor sambil menatap
Monas di luar jendela, ketika seorang pedagang berjalan melewati
penumpang, menjajakan dagangan.
“Indonesia sebentar
lagi hancur!” Pedagang itu berteriak sambil memegangi puluhan kotak
lem tikus. “Selamatkan Indonesia, selamatkan bumi pertiwi dari
tikus-tikus yang menggerogoti.”
Spontan, senyum kecil te
rsungging di bibir sejumlah penumpang.
Kecuali karena harganya yang
betul-betul murah, KRL Ekonomi Jabodetabek, yang setiap tahunnya
menampung hingga 50 juta penumpang, memang sama sekali bukan
transportasi massal idaman.
Panas dan pengap, ramai dan remang,
lusuh dan berisik, rawan kejahatan dan pelecehan — semua itu adalah
kata-kata yang lazim disematkan penumpang kepada KRL Ekonomi.
Tetapi, bukankah di
sela-sela ketidak sempurnaan tersebutlah, kehidupan justru kerap
menunjukkan wajah aslinya?
KRL Ekonomi, bagi saya, adalah miniatur
Jakarta yang lebih representatif dari anjungan DKI Jakarta di Taman
Mini Indonesia Indah. Ia adalah panggung drama untuk segala yang
kontras. Ia adalah realitas ruang publik Jakarta yang dimampatkan
dalam kapsul besi berjalan.
Saya naik KRL Ekonomi
pertama kali pada Maret 2007, ketika bersama teman sekolah hendak
menghadiri sebuah acara di Depok. Kami yang biasanya hanya
berkeliaran di bilangan Jakarta Utara terkesima. Hanya dengan tiket
Rp1500 (sama dengan ongkos saya naik angkot dari rumah ke sekolah)
kami dapat melaju puluhan kilometer sambil menikmati lansekap
ibukota.
Semenjak itu, saya rutin naik KRL Ekonomi Jakarta-Bogor
untuk pergi kuliah.
Pelan-pelan saya mulai
menyadari betapa semrawutnya KRL Ekonomi.
Misalnya, pernah satu kali
saya menyaksikan aksi komplotan jambret. Ketika kereta baru saja
berhenti dan hendak melaju kembali, terdengar suara teriakan dari
gerbong sebelah. Perhatian semua penumpang teralihkan ke arah
datangnya suara. Tiba-tiba, seorang pemuda yang berdiri di samping
saya berlari ke arah seorang ibu yang duduk di samping pintu.
Tangannya mencoba meraih kalung emas di leher ibu itu, sambil ia
melompat keluar.
Semua terjadi dalam sekejap. Para penumpang melongo
sekian detik untuk mencerna kejadian tersebut, sebelum kemudian
menenangkan ibu tadi.
Banyak kejadian negatif
yang memang tak perlu terjadi jika KRL Ekonomi ditiadakan. Teman
saya, misalnya, tidak akan dicopet lalu dipukul jika tidak ada
gerbong-gerbong gelap di KRL Ekonomi. Para ataper (sebutan bagi
penumpang di atas atap kereta) juga tidak perlu meninggal sia-sia
karena tersetrum atau tersandung.
Namun, tidak sedikit pula hal
bermakna yang justru hanya bisa terjadi di KRL Ekonomi.
Suatu malam
di kereta yang sudah tidak begitu ramai, saya mengamati seorang
pedagang yang sedang duduk beristirahat. Tak lama, seorang buta yang
meminta sedekah datang dari gerbong sebelah. Ketika nyaris tidak ada
penumpang yang menggubris, justru pedagang itu memberikan sekian ribu
padanya.
Pernah juga saya melihat
seorang anak yang sedang duduk, sementara ayahnya memilih berdiri
dekat pintu sambil menikmati angin malam karena tak ada kursi kosong
lagi. Ketika kereta melewati Stasiun Gambir, anak itu tiba-tiba
berdiri menghampiri ayahnya, memegang lengannya, dan menyandarkan
kepala. Tempat duduknya tentu segera diisi oleh penumpang lain,
tetapi anak itu tidak peduli. Ia asyik ngobrol dengan ayahnya sambil
menikmati gemerlap malam ibukota.
Pengalaman sejenis
seringkali saya dengar dari tuturan penumpang KRL Ekonomi lainnya.
Setiyo Bardono, pengguna
kereta dan penulis buku puisi “Aku Mencintaimu Sepenuh Kereta”,
bercerita via email: “Di dalam kereta ekonomi, saya merasakan
realitas sosial masyarakat Indonesia. Di dalamnya kita bisa mengasah
kepekaan dan kepedulian.”
KRL Ekonomi adalah ruang
inspirasi bagi tulisan-tulisan Setiyo. Ia merasakan perbedaan saat
menaiki KRL Commuter Line. “Ketika naik KRL Commuter Line, saya
hanya merasa dingin dan kadang tersergap suasana asing. Kurang terasa
kehangatannya. Sosok-sosok di dalamnya seakan berkutat pada diri
sendiri,” kata Setiyo.
Akan ada banyak yang
hilang ketika KRL Ekonomi ditiadakan pertengahan tahun ini, sesuai
rencana PT KAI. Tidak ada lagi para pencari nafkah dengan rupa-rupa
cara di kereta. Tidak ada lagi memandang Jakarta lewat jendela
terbuka Tidak ada lagi ataper. Tidak ada lagi angin malam. Dan
mungkin, puisi-puisi sejuk Setiyo Bardono tidak lagi sama.
Di luar permasalahan
ekonomi pengguna kereta yang perlu dikaji betul sebelum melakukan
peniadaan KRL Ekonomi, saya tidak bermaksud menentang niatan PT KAI.
Waktu melaju cepat seperti kereta. Lambat laun, KRL Ekonomi pasti
perlu diganti, apalagi jika melihat umurnya yang sudah uzur.
Tetapi kelak, ketika KRL
Ekonomi tak ada, angkutan massal murah yang pernah jadi senjata
berjuta umat dalam menghadapi kerasnya Jakarta itu pastilah
dirindukan.
No comments:
Post a Comment