Tuesday, April 2, 2013

Kelak, Ketika KRL Ekonomi Tidak Ada



Saya sedang berdiri di tengah sesaknya gerbong KRL Ekonomi Jakarta-Bogor sambil menatap Monas di luar jendela, ketika seorang pedagang berjalan melewati penumpang, menjajakan dagangan.

“Indonesia sebentar lagi hancur!” Pedagang itu berteriak sambil memegangi puluhan kotak lem tikus. “Selamatkan Indonesia, selamatkan bumi pertiwi dari tikus-tikus yang menggerogoti.”

Spontan, senyum kecil te rsungging di bibir sejumlah penumpang. Kecuali karena harganya yang betul-betul murah, KRL Ekonomi Jabodetabek, yang setiap tahunnya menampung hingga 50 juta penumpang, memang sama sekali bukan transportasi massal idaman. Panas dan pengap, ramai dan remang, lusuh dan berisik, rawan kejahatan dan pelecehan — semua itu adalah kata-kata yang lazim disematkan penumpang kepada KRL Ekonomi.

Tetapi, bukankah di sela-sela ketidak sempurnaan tersebutlah, kehidupan justru kerap menunjukkan wajah aslinya? KRL Ekonomi, bagi saya, adalah miniatur Jakarta yang lebih representatif dari anjungan DKI Jakarta di Taman Mini Indonesia Indah. Ia adalah panggung drama untuk segala yang kontras. Ia adalah realitas ruang publik Jakarta yang dimampatkan dalam kapsul besi berjalan.

Saya naik KRL Ekonomi pertama kali pada Maret 2007, ketika bersama teman sekolah hendak menghadiri sebuah acara di Depok. Kami yang biasanya hanya berkeliaran di bilangan Jakarta Utara terkesima. Hanya dengan tiket Rp1500 (sama dengan ongkos saya naik angkot dari rumah ke sekolah) kami dapat melaju puluhan kilometer sambil menikmati lansekap ibukota. Semenjak itu, saya rutin naik KRL Ekonomi Jakarta-Bogor untuk pergi kuliah.

Pelan-pelan saya mulai menyadari betapa semrawutnya KRL Ekonomi. Misalnya, pernah satu kali saya menyaksikan aksi komplotan jambret. Ketika kereta baru saja berhenti dan hendak melaju kembali, terdengar suara teriakan dari gerbong sebelah. Perhatian semua penumpang teralihkan ke arah datangnya suara. Tiba-tiba, seorang pemuda yang berdiri di samping saya berlari ke arah seorang ibu yang duduk di samping pintu. Tangannya mencoba meraih kalung emas di leher ibu itu, sambil ia melompat keluar. Semua terjadi dalam sekejap. Para penumpang melongo sekian detik untuk mencerna kejadian tersebut, sebelum kemudian menenangkan ibu tadi.

Banyak kejadian negatif yang memang tak perlu terjadi jika KRL Ekonomi ditiadakan. Teman saya, misalnya, tidak akan dicopet lalu dipukul jika tidak ada gerbong-gerbong gelap di KRL Ekonomi. Para ataper (sebutan bagi penumpang di atas atap kereta) juga tidak perlu meninggal sia-sia karena tersetrum atau tersandung. Namun, tidak sedikit pula hal bermakna yang justru hanya bisa terjadi di KRL Ekonomi. Suatu malam di kereta yang sudah tidak begitu ramai, saya mengamati seorang pedagang yang sedang duduk beristirahat. Tak lama, seorang buta yang meminta sedekah datang dari gerbong sebelah. Ketika nyaris tidak ada penumpang yang menggubris, justru pedagang itu memberikan sekian ribu padanya.

Pernah juga saya melihat seorang anak yang sedang duduk, sementara ayahnya memilih berdiri dekat pintu sambil menikmati angin malam karena tak ada kursi kosong lagi. Ketika kereta melewati Stasiun Gambir, anak itu tiba-tiba berdiri menghampiri ayahnya, memegang lengannya, dan menyandarkan kepala. Tempat duduknya tentu segera diisi oleh penumpang lain, tetapi anak itu tidak peduli. Ia asyik ngobrol dengan ayahnya sambil menikmati gemerlap malam ibukota.
Pengalaman sejenis seringkali saya dengar dari tuturan penumpang KRL Ekonomi lainnya.
Setiyo Bardono, pengguna kereta dan penulis buku puisi “Aku Mencintaimu Sepenuh Kereta”, bercerita via email: “Di dalam kereta ekonomi, saya merasakan realitas sosial masyarakat Indonesia. Di dalamnya kita bisa mengasah kepekaan dan kepedulian.”

KRL Ekonomi adalah ruang inspirasi bagi tulisan-tulisan Setiyo. Ia merasakan perbedaan saat menaiki KRL Commuter Line. “Ketika naik KRL Commuter Line, saya hanya merasa dingin dan kadang tersergap suasana asing. Kurang terasa kehangatannya. Sosok-sosok di dalamnya seakan berkutat pada diri sendiri,” kata Setiyo.

Akan ada banyak yang hilang ketika KRL Ekonomi ditiadakan pertengahan tahun ini, sesuai rencana PT KAI. Tidak ada lagi para pencari nafkah dengan rupa-rupa cara di kereta. Tidak ada lagi memandang Jakarta lewat jendela terbuka Tidak ada lagi ataper. Tidak ada lagi angin malam. Dan mungkin, puisi-puisi sejuk Setiyo Bardono tidak lagi sama.

Di luar permasalahan ekonomi pengguna kereta yang perlu dikaji betul sebelum melakukan peniadaan KRL Ekonomi, saya tidak bermaksud menentang niatan PT KAI. Waktu melaju cepat seperti kereta. Lambat laun, KRL Ekonomi pasti perlu diganti, apalagi jika melihat umurnya yang sudah uzur.
Tetapi kelak, ketika KRL Ekonomi tak ada, angkutan massal murah yang pernah jadi senjata berjuta umat dalam menghadapi kerasnya Jakarta itu pastilah dirindukan.


No comments:

Post a Comment